Pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement)

Pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) - Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB) - Bab IX Perihal Mengadili Perkara Perdata yang Harus Diperiksa oleh Pengadilan Negeri - Bagian 2 Tentang Bukti.

Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Penjelasan Pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement)

Apabila kita membaca pasal ini, kita mudah memperoleh kesan, bahwa seakan-akan para pengadu perkara pada pengadilan negeri itu senantiasa harus membuktikan kebenaran hal-hal yang ia ajukan, pada hal sesungguhnya bukan begitu, sebab yang harus dibuktikan kebenarannya itu hanyalah segala sesuatu yang tidak disetujui oleh tergugat, seperti misalnya A mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar supaya B mengembalikan sepeda milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan itu tidak perlu misalnya A sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam tuntutannya, bahwa. sepeda itu didapat olehnya dari pembelian yang syah dengan melampirkan kwintasi tanda pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia adalah menjadi pemilik sebuah sepeda yang ia terangkan tanda-tandanya, dan sepeda itu berada di tangan B yang tidak mau menyerahkan kepada A, Apabila kemudian B menyangkal dan mengatakan bahwa sepeda itu bukan milik A akan tetapi milik B sendiri, asal pembeliannya 6 bulan yang lalu dari toko X, maka B harus membuktikan apa yang ia katakan itu.

Apa yang tersebut dalam pasal 163 ini adalah yang biasa disebut "pembagian beban pembuktian", yang maksudnya adalah bahwa yang harus dibuktikan itu hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh ke dua belah pihak yang berperkara, artinya yang tidak mendapat persetujuan kedua pihak. Dengan kata-kata lain, bahwa perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang telah diakui atau yang tidak disangkal oleh pihak lawan, tidak usah dibuktikan lagi.

Perlu diterangkan di sini bahwa juga hal-hal yang telah diketahui oleh umum dan oleh hakim sendiri tidak perlu dibuktikan, sebab "membuktikan" itu berarti "memberikan kepastian kepada hakim" tentang adanya kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan itu. Pihak yang mengemukakan sesuatu kejadian atau keadaan, baik penggugat maupun tergugat, yang tidak diakui oleh pihak- lawan, harus membuktikan kejadian atau keadaan itu, seperti misalnya A (penggugat) menerangkan, bahwa ia telah menjual dan menyerahkan barang-barang kepada B (tergugat) dan menuntut dari pada B pembayaran harga pembelian itu. B menyangkal, bahwa ia telah membeli dan menerima barang-barang itu.

Dalam hal ini A harus membuktikan penjualan dan penyerahan barang-barang itu. B (tergugat) dalam hal ini tidak memajukan suatu kejadian atau keadaan tertentu, ia hanya menyangkal saja apa yang diterangkan oleh A (penggugat), oleh karena itu B dari pihaknya tidak usah membuktikan apa-apa.

Kalau di samping penyangkalan itu, B mengatakan pula bahwa ia telah menerima barang-barang itu sebagai hadiah dari A, maka B harus membuktikan. pemberian sebagai hadiah itu, jika ini disangkal oleh A.

Menurut Prof. R. Subekti S.H. dalam bukunya yang berjudul "Hukum Pembuktian", maka "pembagian beban pembuktian" itu adalah suatu masalah yang amat penting dalam buku Hukum Pembuktian, oleh karena itu pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal juridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka mahkamah Agung.

Melakukan beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.

Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) atau pasal 163 H.I.R. sebenarnya memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban pembuktian.

Dalam hal itu Malikul Adil dalam bukunya yang berjudul "Pembaharuan Hukum Perdata Kita" mengatakan bahwa "Hakim yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan."

Dalam hubungan ini hukum material sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:

  1. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 B.W.).
  2. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 B. W.).
  3. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar semua angsuran (pasal 1394 B.W.).
  4. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) B.W.).

---

Pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement). Courtesy of Cekhukum.com.

Official editorial Cekhukum.com.