Pasal 378 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)

Pasal 378 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) - Bab XXV Perbuatan Curang

Pasal 378 KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


Dengan memperhatikan dan melihat rumusan pasal tersebut di atas, maka unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah:

Unsur Subjektif

dengan maksud/met het oogmerk, (a). menguntungkan diri sendiri atau orang lain, (b). dengan melawan hukum.

Unsur Objektif

  1. Membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk penggerak : memakai nama palsu, memakai martabat/keadaan/sifat palsu, rangkaian kata-kata bohong dan tipu muslihat.
  2. Agar : orang menyerahkan sesuatu barang, membuat piutang atau menghapuskan piutang. (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 40 – 41, P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 142)

Menurut P.A.F. Lamintang, walaupun pembentuk undang-undang tidak mensyaratkan unsur “kesengajaan“ bagi pelaku untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang sebagaimana rumusan pasal, akan tetapi dengan melihat pada syarat tentang keharusan adanya suatu maksud selanjutnya (Bijkomen Oomerk atau naaste doel) dari si pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka sudah dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perbuatan penipuan Pasal 378 KUHP ini merupakan suatu kejahatan/Opzettelijk Misdrif atau merupakan suatu kejahatan yang harus dilakukan dengan kesengajaan (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 141 – 142).

Kalimat dengan maksud itu dalam rumusan pasal adalah merupakan unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan/dolus yang ditempatkan di awal perumusan, dalam hal ini berfungsi ganda/rangkap yaitu: baik berfungsi sebagai kesengajaan maupun sebagai tujuan dilakukan perbuatan tersebut. Sebagai unsur kesengajaan, maka si pelaku harus menyadari/menghendaki suatu keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain, termasuk ke tidak berhak atas suatu keuntungan dengan menggunakan sarana kebohongan yang merupakan alat untuk memperdaya. Pembuktian tentang  maksud, kehendak dan pengetahuan terdakwa dalam praktik mengalami kesulitan, terutama apabila terdakwa menyangkal segala tuduhan dari jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu, bila tidak dapat dibuktikan dalam persidangan, maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 143). Sedangkan fungsinya sebagai tujuan berarti tidak harus selalu menjadi kenyataan keuntungan yang diharapkan (SR. Sianturi, 1983 : 632)

Pengertian menguntungkan (Bevoordelen) menurut Prof, van Bemmelen –  van Hattum mengartikan bahwa "setiap perbaikan keadaan yang dicapai orang atau yang secara pantas dapat diharapkan akan dicapai orang. Perbaikan tersebut hampir selalu bersifat hukum kekayaan, setidak-tidaknya mempunyai akibat-akibat yang bersifat hukum harta kekayaan“.

Akan tetapi menurut P.A.F. Lamintang, hal tersebut tidaklah selalu harus demikian, beliau lebih setuju dengan pendapat Noyon – Lange Meijer, bahwa keuntungan tersebut adalah merupakan keuntungan yang sifatnya di bidang kehidupan ekonomi. Kemudian yang dimaksud dengan keuntungan yang bersifat melawan hukum, dapat diartikan bahwa suatu keuntungan yang dapat juga disebut dengan bertentangan dengan kepatutan di dalam suatu pergaulan bermasyarakat. Jika pada keuntungan itu masih terdapat cacat tentang bagaimana caranya keuntungan itu dapat diperoleh dan juga sampai saat orang menikmatinya atau jika keuntungan itu sendiri sifatnya bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan bermasyarakat, tanpa perlu memperhatikan bagaimana caranya keuntungan itu dapat diperoleh, maka hal ini harus dilihat dalam konteks teori sifat melawan hukumnya suatu perbuatan.

Dengan demikian orang akan dapat mengetahui bahwa untuk dapat disebut bersifat melawan hukum di sini adalah bukan hanya apabila keuntungannya itu sendiri bersifat bertentangan dengan kepatutan di dalam pergaulan bermasyarakat, melainkan juga cara memperoleh keuntungan tersebut ternyata bertentangan dengan kepatutan di dalam pergaulan bermasyarakat. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 145 – 148).

Bewegen tot afgifte atau “menggerakkan/membujuk “ di sini berarti: tergeraknya hati si korban agar bersedia melakukan sesuatu perbuatan dengan suatu permintaan tanpa tekanan, meskipun kadang kala menghadapi suatu sikap ragu-ragu dari si korban. Dalam praktik kehidupan manusia sehari-hari, mungkin hal ini lebih cenderung merupakan bujuk rayu, yaitu si korban melakukan suatu perbuatan, yang sebenarnya justru merugikan diri sendiri tanpa paksaan. Perbuatan membujuk itu adalah menanamkan pengaruh demikian rupa terhadap orang, sehingga orang yang dipengaruhinya mau berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya, padahal apabila orang itu mengetahui duduk yang sebenarnya, tidak akan mau melakukan perbuatan itu (R.Sugandhi, 1980 - 396). Menyerahkan suatu benda dalam rumusan Pasal 378 KUHP merupakan : “setiap tindakan memisahkan suatu benda dengan cara yang bagaimanapun dan dalam keadaan yang bagaimanapun dari orang yang menguasai benda tersebut untuk diserahkan kepada siapapun “.

Menurut HR, “penyerahan atau afgifte“ itu merupakan unsur konstitutif dari tindak pidana penipuan, sehingga penyerahan tersebut tidak perlu dilakukan secara langsung kepada pelaku. Hal ini berarti bahwa pelaku dapat menyuruh orang yang ditipu untuk menyerahkan benda tersebut kepada seorang perantara atau kepada beberapa orang perantara yang dikirim oleh pelaku untuk menerima penyerahan benda yang bersangkutan.

Pengertian ini sejalan dengan pendapat HR dalam Arrestnya tanggal 27 Maret 1933, NJ. 1933, halaman 902, W. 12604 yang memutuskan bahwa : “termasuk dalam pengertian penyerahan adalah juga menyuruh menyerahkan, yaitu perbuatan menyerahkan oleh orang yang dirugikan kepada seorang perantara dengan perintah untuk menyerahkan benda yang harus diserahkan kepada orang yang disuruh oleh pelaku “. Sedangkan “ perbuatan menggerakkan “ orang lain “ untuk menyerahkan suatu benda “ itu juga dapat dilakukan melalui seorang perantara, yakni tidak dilakukan terhadap orang yang diharapkan akan melakukan “ penyerahan “ tersebut, melainkan terhadap orang ketiga, akan tetapi harus terdapat kepastian bahwa maksudnya ialah untuk memperoleh “ penyerahan “ dan terdapat hubungan sebab-akibat antara upaya dipakai oleh pelaku dengan penyerahan benda yang bersangkutan. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 150-151).

Terhadap pengertian “nama palsu“ menurut Satochid Kartanegara adalah suatu nama palsu itu harus merupakan nama seseorang, di mana nama tersebut dapat merupakan nama sebenarnya, tetapi bukan merupakan nama si pelaku itu sendiri atau memang merupakan nama si pelaku, akan tetapi tidak diketahui oleh umum atau merupakan nama yang tidak digunakan oleh seseorang / orang lain (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 155).

Pengertian tentang martabat/keadaan/sifat palsu atau hoedanigheid yang dalam istilah Belandanya disebut “Hoedanigheid “, menurut Prof van Bememlen – van Hattum adalah : “setiap ciri pribadi yang membuat orang yang menyerahkan suatu benda menjadi lebih percaya, bahwa orang lain itu berwenang meminta penyerahan benda yang bersangkutan. Dengan kata lain orang yang menyerahkan benda itu harus menjadi tergerak oleh sifat tersebut “.

Sedangkan rangkaian kata-kata bohong itu di isyaratkan bahwa harus terdapat beberapa kata-kata bohong yang harus diucapkan. Satu kata bohong saja tidak cukup sebagai alat penggerak ataupun alat bujuk. Rangkaian kata-kata bohong yang diucapkan secara tersembunyi, sehingga merupakan suatu ceritra kata yang dapat diterima sebagai suatu yang logis dan benar. Jadi kata-kata itu tersusun, sehingga kata yang satu membenarkan atau memperkuat kata yang lain (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 41).

Sedangkan Satauchid Kartanegara memberikan pengertian “rangkaian kata-kata bohong“ atau samenweefsel van verdichtsels adala : “rangkaian kata-kata yang terjalin demikian rupa, hingga kata-kata tersebut mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain dan dapat menimbulkan kesan seolah-olah, kata-kata yang satu itu membenarkan kata-kata yang lain, padahal semuanya itu sesungguhnya tidak sesuai dengan kebenaran” (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 159).

R. Sugandhi menafsirkan kata “ rangkaian kebohongan “ itu adalah: susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga kebohongan yang satu ditutup dengan kebohongan-kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan cerita tentang sesuatu yang seakan-akan benar (R. Sugandhi, 1980 : 397). Sedangkan HR dalam berbagai arrestnya seperti Arest HR tanggal 8 Maret 1926, NJ. 1926 halaman 368. W. 11502, Arrest HR tanggal 28 Juli 1916, NJ 1916 halaman 919, W. 9987 dan Arrest HR tanggal 11 Maret 1929, NJ. 1929 halaman 855, W. 11995 telah memberikan arti “ rangkaian kata-kata bohong “ adalah : “ dapat dikatakan terdapat suatu susunan kata-kata bohong bilamana antara beberapa kebohongan itu terdapat hubungan yang demikian rupa, dan kebohongan yang satu dengan kebohongan yang lainnya itu keadaannya adalah demikian rupa, sehingga semua kata-kata bohong itu secara timbal balik memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu sesuai dengan kebenaran, padahal yang sebenarnya adalah tidak demikian “. (PAF. Lamintang (2), 1989 : 158 -159)

SR.   Sianturi,   menyatakan   bahwa   rangkaian   kebohongan   adalah   “ keterangan  yang  saling  mengisi,  yang  seakan-akan  benar  isi  keterangan  itu, padahal tidak lain dari pada kebohongan “.Isi masing-masing keterangan itu, tidak harus seluruhnya berisi kebohongan, tetapi orang akan berkesimpulan dari keterkaitan satu sama lainnya sebagai sesuatu yang benar. Lebih lanjut SR Sianturi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “ tipu muslihat“ atau listigekunstgrepen adalah: “suatu tindakan yang dapat disaksikan oleh orang lain, baik disertai maupun tidak disertai dengan suatu ucapan, yang dengan tindakan itu si penindak menimbulkan suatu kepercayaan akan sesuatu atau penghargaan bagi orang lain, padahal ia sadari bahwa hal itu tidak ada “. Sebagai suatu contoh misalnya : penjual obat bersekongkol / bersekutu dengan kawannya berpura-pura sakit, begitu memakai obat itu terasa seketika pulih kesehatannya. Sedangkan Satauchid Kartanegara menyatakan bahwa “ tipu muslihat“/Listige Kunstgrepen adalah : “ tindakan-tindakan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkankepercayaan orang atau memberikan kesan pada orang yang digerakkan seolah-olah keadaannya sesuai dengan kebenaran“. (SR. Sianturi, 1983 : 634 dan PAF. Lamintang (2), 1989 : 157).

Di samping itu H.A.K. Moch. Anwar juga menyatakan “ tipu muslihat adalah : “ perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga perbuatan-perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu dari orang lain, jadi tidak terdiri dari ucapan, tetapi atas perbuatan atau tindakan “. Satu perbuatan saja sudah dianggap sebagai tipu mislihat, misalnya menunjukkan surat-surat palsu atau memperlihatkan barang-barang palsu (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 42).

Sedangkan R. Sugandhi menyatakan bahwa “ tipu muslihat “ itu merupakan suatu tipu yang diatur sedemikian rapinya, sehingga orang yang berpikiran normal pun dapat mempercayainya akan kebenaran hal yang ditipu itu (R. Sugandhi, 1980 : 397).

Menyerahkan suatu benda / barang adalah merupakan setiap tindakan memisahkan suatu benda/berang dengan cara bagaimanapun, dalam keadaan yang bagaimana dari orang yang menguasai benda / barang tersebut untuk diserahkan kepada siapa pun. Hal ini berarti bahwa si pelaku dapat menyuruh orang yang ditipu untuk menyerahkan benda / barang tersebut kepada seorang perantara atau kepada beberapa orang perantara yang dikirim oleh si pelaku untuk menerima penyerahan yang bersangkutan. Sehingga penyerahan/Afgifte menurut HR merupakan suatu unsur konstitutif dari tindak pidana penipuan dan penyerahan tersebut tidak perlu dilakukan secara langsung kepada si pelaku. Hal ini dapat dilihat dalam Arrestnya Hoge Raad tanggal 27 Maret 1933, NJ, hal.902, W. 12602, memberikan pengertian menyerahkan adalah “ juga menyuruh menyerahkan yakni perbuatan menyerahkan oleh orang dirugikan kepada seorang perantara dengan perintah untuk menyerahkan benda yang harus diserahkan kepada orang yang disuruh oleh pelaku “.

Dengan demikian, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu benda, juga dapat dilakukan oleh seorang perantara, yakni tidak dilakukan terhadap orang yang diharapkan akan melakukan penyerahan tersebut, melainkan terhadap orang ketiga. Akan tetapi harus mendapat kepastian bahwa maksud adalah untuk memperoleh penyerahan dan terdapat hubungan sebab-akibat antara upaya yang dipakai oleh pelaku dengan penyerahan benda / barang yang bersangkutan. Yang penting disini adalah bahwa benda / barang yang diminta oleh pelaku untuk diserahkan kepadanya itu harus terlepas dari penguasaan orang yang diminta untuk menyerahkan, akan tetapi tidak perlu bahwa pada saat yang sama benda / barang tersebut jatuh dalam penguasaan orang yang lain (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 150-151).

Membuat hutang / membuat perikatan hutang / supaya memberikan hutang berarti mengakui seseorang itu berhutang kepada si pelaku, tetapi tidak harus tepat dan sesuai dengan yang diatur dalam hukum perdata, melainkan pengakuan berhutang sejumlah uang diatas secarik kertas atau secara lisan yang disaksikan orang lain. Sedangkan menghapuskan pihutang, disini tidak terbatas kepada pihutang karena pinjaman, melainkan juga piutang karena pegadaian atau sebagai hasil suatu keuntungan dengan cara merobek surat-surat pihutang atau mengucapkan dengan lisan yang disaksikan oleh orang lain.

Referensi: Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017.

---

Referensi: Pasal 378 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Courtesy of Cekhukum.com.