Menelusuri Akar Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) yang berlaku di Indonesia saat ini memiliki sejarah panjang yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa. Jauh sebelum kedatangan bangsa kolonial, wilayah Nusantara yang terdiri dari berbagai kerajaan telah memiliki sistem hukumnya sendiri. Sistem hukum ini, yang dikenal sebagai hukum adat, sebagian besar tidak tertulis namun mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Di beberapa daerah dengan mayoritas penduduk Muslim, hukum adat yang berlaku seringkali dipengaruhi oleh ketentuan hukum Islam. Contohnya di Wajo, Sulawesi Selatan, di mana hukum waris merupakan perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat. Bahkan di wilayah seperti Aceh atau pada masa pemerintahan Sultan Agung di Jawa, hukum Islam diberlakukan sebagai hukum resmi negara. Dengan demikian, sebelum kedatangan Belanda, dua sistem hukum utama telah berjalan beriringan di Nusantara: hukum adat dan hukum Islam.

Ketika Belanda mulai menjajah Indonesia, mereka tidak serta-merta menghapus sistem hukum yang telah ada. Kebijakan hukum pemerintah kolonial Belanda tercermin dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (I.S.), yang mengatur beberapa poin penting:

  1. Kodifikasi hukum perdata, dagang, pidana, serta hukum acara perdata dan pidana.
  2. Pemberlakuan hukum Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda.
  3. Kemungkinan pemberlakuan hukum Eropa bagi pribumi dan Timur Asing jika diperlukan.
  4. Izin bagi pribumi dan Timur Asing untuk menundukkan diri pada hukum Eropa.
  5. Keberlanjutan hukum adat bagi pribumi dan Timur Asing selama belum dikodifikasi.

Kebijakan ini mencerminkan strategi "divide et impera" Belanda, yang mengakibatkan penggolongan penduduk dan hukum di Indonesia. Pasal 163 I.S. membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Golongan Eropa mencakup orang Belanda, orang Eropa lainnya, dan orang Jepang beserta keturunannya. Masuknya orang Jepang ke dalam golongan ini merupakan hasil perjanjian perdagangan antara Belanda dan Jepang.

Golongan Timur Asing meliputi orang Tionghoa dan Asia lainnya, termasuk India dan Pakistan. Bagi mereka, berlaku KUH-Perdata terkait hukum kekayaan sesuai Staatsblad No. 79 Tahun 1855. Khusus untuk golongan Tionghoa, Staatsblad No. 129 Tahun 1917 memberlakukan seluruh KUH-Perdata kecuali bagian tentang upacara perkawinan.

Untuk golongan Bumiputera, terutama orang Indonesia asli beragama Kristen, berlaku hukum adat. Namun, mereka diberi pilihan untuk menundukkan diri pada KUH-Perdata berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, KUH-Perdata tetap diberlakukan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1942, selama tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah militer Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, KUH-Perdata warisan Belanda ini tetap digunakan sebagai pedoman hukum perdata nasional. Hal ini didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD.

Meskipun demikian, upaya untuk menyesuaikan KUH-Perdata dengan kebutuhan dan nilai-nilai bangsa Indonesia terus dilakukan. Beberapa perubahan dan penambahan telah dibuat, seperti UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menggantikan ketentuan perkawinan dalam KUH-Perdata.

Perjalanan sejarah KUH-Perdata Indonesia menunjukkan bagaimana hukum dapat berkembang dan beradaptasi seiring dengan perubahan sosial dan politik. Dari sistem hukum adat dan Islam yang telah mengakar, hingga pengaruh kolonial Belanda yang masih terasa, KUH-Perdata Indonesia mencerminkan kompleksitas dan keunikan sejarah bangsa.

Saat ini, meskipun masih banyak mengadopsi ketentuan dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda, KUH-Perdata Indonesia terus mengalami penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Para ahli hukum dan pembuat kebijakan terus berupaya untuk menciptakan sistem hukum perdata yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Pemahaman akan sejarah terbentuknya KUH-Perdata ini penting bagi praktisi hukum, akademisi, maupun masyarakat umum. Dengan mengetahui akar historisnya, kita dapat lebih memahami mengapa beberapa ketentuan masih relevan, sementara yang lain memerlukan pembaruan. Hal ini juga membantu dalam upaya pengembangan hukum perdata nasional yang lebih responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi Indonesia kontemporer.

Baca juga: Memahami Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) Indonesia

Sebagai penutup, perlu diingat bahwa hukum, termasuk KUH-Perdata, bukanlah entitas yang statis. Ia akan terus berevolusi seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk memahami, mengkaji, dan memperbaharui KUH-Perdata harus terus dilakukan demi terciptanya sistem hukum perdata yang adil dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM)