Dalam sistem hukum perdata Indonesia, konsep pendewasaan atau handlichting menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Konsep ini memungkinkan seseorang yang belum mencapai usia dewasa menurut undang-undang untuk memperoleh status hukum sebagai orang dewasa, baik secara terbatas maupun penuh.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur ketentuan mengenai pendewasaan dalam Pasal 419 hingga Pasal 432. Aturan ini memberikan kesempatan bagi mereka yang belum genap berusia 21 tahun untuk melakukan perbuatan hukum layaknya orang dewasa, dengan syarat dan prosedur tertentu.
Terdapat dua jenis pendewasaan yang dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Pertama, pendewasaan penuh, yang dapat diberikan kepada individu berusia 20 tahun. Untuk memperoleh status ini, pemohon harus mengajukan permohonan kepada Presiden dengan melampirkan bukti kelahiran atau dokumen lain yang menunjukkan usia mereka.
Proses pengambilan keputusan untuk pendewasaan penuh melibatkan beberapa tahapan. Presiden akan mempertimbangkan nasihat dari Mahkamah Agung, yang sebelumnya telah mendengarkan pendapat orang tua pemohon serta anggota keluarga lainnya yang dianggap relevan. Jika permohonan dikabulkan, pemohon akan memperoleh kedudukan hukum yang setara dengan orang dewasa, kecuali dalam hal perkawinan yang masih tunduk pada ketentuan Pasal 35 dan 37 KUHPerdata mengenai izin menikah.
Jenis kedua adalah pendewasaan terbatas, yang dapat diajukan oleh mereka yang telah berusia 18 tahun. Berbeda dengan pendewasaan penuh, permohonan ini cukup diajukan ke Pengadilan Negeri. Namun, status dewasa yang diberikan hanya berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan suatu perusahaan.
Meskipun konsep pendewasaan ini masih tercantum dalam KUHPerdata, relevansinya di era modern mulai dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh adanya Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 47 Ayat 1 dan Pasal 50 Ayat 2, yang menetapkan bahwa seseorang yang telah berusia 18 tahun tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian. Interpretasi umum terhadap ketentuan ini adalah bahwa individu tersebut sudah dianggap dewasa secara hukum.
Pergeseran paradigma ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan lembaga pendewasaan dalam sistem hukum Indonesia. Apakah ketentuan ini masih diperlukan, atau sudah saatnya untuk ditinjau ulang dan disesuaikan dengan perkembangan zaman?
Terlepas dari perdebatan tersebut, pemahaman mengenai konsep pendewasaan tetap penting dalam konteks hukum perdata Indonesia. Hal ini tidak hanya relevan bagi praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum yang mungkin berhadapan dengan situasi di mana status kedewasaan seseorang menjadi pertimbangan hukum.
Baca juga: Memahami Subjek Hukum Perdata dan Kecakapan Bertindak dalam Hukum Perdata di Indonesia
Dengan demikian, meskipun implementasinya mungkin sudah jarang ditemui, konsep pendewasaan tetap menjadi bagian integral dari sistem hukum perdata Indonesia. Pemahaman yang baik tentang hal ini dapat membantu masyarakat dalam mennavigasi kompleksitas hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan individu di bawah usia 21 tahun yang perlu melakukan tindakan hukum tertentu.