Evolusi Hukum Perdata Indonesia: Perjalanan Pasca-Kemerdekaan

Cekhukum.com - Sejarah hukum perdata Indonesia mengalami perjalanan panjang sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan membawa tantangan tersendiri dalam sistem hukum nasional, termasuk dalam ranah hukum perdata.

Artikel ini akan mengulas perkembangan hukum perdata Indonesia pasca-kemerdekaan, dengan fokus pada keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) warisan kolonial dan pandangan para ahli hukum terkemuka.

Landasan Hukum Pasca-Kemerdekaan

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar hukum utama dalam masa transisi.

Pasal II aturan peralihan yang menyebutkan: "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini"

Pasal tersebut menegaskan bahwa seluruh peraturan yang ada saat Indonesia merdeka tetap berlaku selama belum ada penggantinya.

Pernyataan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah RI No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, yang menyatakan keberlakuan semua badan negara dan peraturan yang ada, dengan syarat tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Konsekuensinya, pasca-kemerdekaan, tiga sistem hukum utama tetap berlaku di Indonesia: Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Perdata Barat (KUHPerdata). Keberlakuan ini berlangsung hingga adanya ketentuan baru yang menggantikan atau mencabutnya.

Pandangan Ahli Hukum

Keberlakuan KUHPerdata sebagai hukum positif di Indonesia memunculkan beragam tanggapan dari para ahli hukum. Berikut ini adalah pandangan beberapa tokoh terkemuka:

1. Prof. Saharjo, S.H.

    Prof. Saharjo mengkritisi dasar pembentukan KUHPerdata yang dinilai bersifat diskriminatif. Beliau mengusulkan agar KUHPerdata tidak lagi dianggap sebagai kitab undang-undang (wetboek), melainkan hanya sebagai kumpulan hukum kebiasaan (rechtboek). Gagasan ini bertujuan agar hakim dapat menilai kesesuaian pasal-pasal KUHPerdata dengan semangat kemerdekaan.

    Usulan Prof. Saharjo mendapat dukungan dari Ketua Mahkamah Agung saat itu, Prof. Wiryono Prodjodikoro. Hal ini diwujudkan melalui Surat Edaran MA No. 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada seluruh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. Surat edaran tersebut menyatakan tidak berlakunya delapan pasal dalam KUHPerdata yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan.

    2. Prof. Mahadi

      Prof. Mahadi mendukung gagasan Prof. Saharjo, namun dengan beberapa catatan. Beliau berpendapat bahwa pasal-pasal KUHPerdata memang tidak berlaku sebagai kitab undang-undang dalam satu ikatan kodifikasi. Namun, jika berdiri sendiri dan tidak terikat dalam sistem kodifikasi, pasal-pasal tersebut tetap dapat dianggap sebagai undang-undang.

      3. Dr. Mathilda Sumampouw, S.H.

        Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Dr. Mathilda Sumampouw tidak sependapat dengan gagasan Prof. Saharjo dan Prof. Mahadi. Beliau menekankan pentingnya kepastian hukum. Menurutnya, jika KUHPerdata hanya dianggap sebagai kumpulan hukum kebiasaan, hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan hukum yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

        4. Prof. Soebekti

          Prof. Soebekti memiliki pandangan yang lebih moderat. Beliau berpendapat bahwa Surat Edaran MA No. 3 Tahun 1963 tidak memiliki kekuatan hukum untuk mencabut pasal-pasal KUHPerdata. Menurutnya, kewenangan untuk menafsirkan dan memutuskan keberlakuan pasal-pasal KUHPerdata tetap berada di tangan hakim. Prof. Soebekti meyakini bahwa yurisprudensi akan berperan penting dalam mengesampingkan pasal-pasal KUHPerdata yang dianggap tidak relevan.

          Pasal-Pasal yang Dianggap Tidak Berlaku

          Surat Edaran MA No. 3 Tahun 1963 menyatakan tidak berlakunya delapan pasal dalam KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut meliputi:

          1. Pasal 108 dan 110: Mengatur ketidakcakapan perempuan bersuami dalam melakukan perbuatan hukum dan tampil di pengadilan.
          2. Pasal 284 ayat 3: Berkaitan dengan pengakuan anak luar kawin oleh ayah.
          3. Pasal 1238: Mengenai prosedur penagihan hutang.
          4. Pasal 1460: Terkait risiko atas musnahnya barang dalam perjanjian jual beli.
          5. Pasal 1579: Mengenai penghentian penggunaan barang sewaan.
          6. Pasal 1602x ayat 1 dan 2: Berkaitan dengan perjanjian perburuhan yang mengandung unsur diskriminasi.
          7. Pasal 1682: Tentang prosedur penghibahan.

          Perkembangan Hukum Perdata Kontemporer

          Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum, evolusi hukum perdata Indonesia terus berlangsung. Beberapa undang-undang baru telah diterbitkan untuk menggantikan atau melengkapi ketentuan dalam KUHPerdata, seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang Jaminan Fidusia.

          Saat ini, Indonesia masih dalam proses menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional yang diharapkan dapat menggantikan KUHPerdata warisan kolonial. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk memastikan bahwa hukum perdata Indonesia mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat Indonesia kontemporer.

          Baca juga: Menelusuri Akar Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

          Kesimpulan

          Perjalanan hukum perdata Indonesia pasca-kemerdekaan menunjukkan dinamika yang kompleks. Meskipun KUHPerdata warisan kolonial masih berlaku, interpretasi dan penerapannya telah mengalami perubahan signifikan. Pandangan para ahli hukum yang beragam mencerminkan upaya untuk menyesuaikan sistem hukum dengan semangat kemerdekaan dan nilai-nilai ke-Indonesiaan.

          Ke depan, tantangan bagi para pembuat kebijakan dan praktisi hukum adalah menciptakan sistem hukum perdata yang tidak hanya mencerminkan identitas nasional, tetapi juga mampu mengakomodasi perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Dalam proses ini, peran aktif seluruh elemen masyarakat akan sangat penting untuk memastikan terwujudnya sistem hukum perdata yang adil, efektif, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

          Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM)