Tantangan Mengungkap Tabir Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) Korporasi

Dalam dunia bisnis yang semakin kompleks, praktik pendirian perusahaan tanpa menampilkan identitas pemilik modal yang sebenarnya kian marak terjadi. Fenomena ini tidak hanya membuka celah bagi tindak kejahatan ekonomi, tetapi juga mempersulit upaya penegakan hukum, terutama dalam kasus pencucian uang. Siapakah sebenarnya pemilik manfaat atau beneficial owner yang kerap kali lolos dari jerat hukum ini? Bagaimana cara mengidentifikasi mereka dan meminta pertanggungjawaban pidana atas tindakan pencucian uang?

Konsep pemilik manfaat atau beneficial owner pertama kali diperkenalkan pada tahun 1966 dalam perjanjian antara Inggris dan Amerika Serikat mengenai pengelakan pajak berganda. Sejak saat itu, konsep ini terus berkembang dan menjadi perhatian khusus dalam rezim anti pencucian uang global. Namun, hingga kini definisi dan penerapannya masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum dan praktisi bisnis.

Menurut Klaus Vogel, seorang pakar hukum pajak internasional, pemilik manfaat adalah individu atau kelompok yang memiliki hak atau kekuasaan untuk menentukan pemanfaatan suatu modal atau kekayaan yang dimiliki bagi orang lain. Sementara itu, Herman LJ mendefinisikannya sebagai kepemilikan yang tidak hanya teregistrasi secara hukum, tetapi juga memiliki wewenang untuk membuat keputusan atas benda yang dikuasainya.

Di Indonesia, upaya untuk mengatur dan mengidentifikasi pemilik manfaat telah dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.

Identifikasi Pemilik Manfaat: Sebuah Teka-teki Rumit

Mengidentifikasi pemilik manfaat bukanlah perkara mudah. Mereka seringkali tidak tercantum dalam struktur organisasi perusahaan dan menggunakan berbagai strategi untuk menyembunyikan identitas mereka. Beberapa metode yang umum digunakan antara lain:

  1. Struktur kepemilikan berlapis (layering): Pemilik modal membuat struktur kepemilikan yang kompleks dan berlapis-lapis, sehingga sulit dilacak siapa pemilik sebenarnya.
  2. Nominee agreement: Pemilik modal memberikan kuasa kepada orang kepercayaannya untuk mewakili dirinya dalam struktur organisasi atau sebagai pemilik modal yang terdaftar.
  3. Perusahaan boneka (shell company): Mendirikan perusahaan formal yang sebenarnya tidak melakukan kegiatan usaha, melainkan hanya untuk melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset.

Untuk mengungkap tabir pemilik manfaat, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019, ada beberapa cara untuk mengidentifikasi pemilik manfaat:

  1. Penelusuran struktur organisasi: Memeriksa dokumen pendirian perusahaan, termasuk anggaran dasar dan perubahannya, untuk melihat pihak-pihak yang memiliki saham lebih dari 25%, hak suara lebih dari 25%, atau menerima keuntungan lebih dari 25%.
  2. Identifikasi pihak pengendali di luar struktur: Mencari individu yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perusahaan tanpa perlu otoritas dari pihak manapun.
  3. Penelusuran aliran transaksi keuangan: Menganalisis aliran dana dari transaksi bisnis yang berindikasi terkait dengan kegiatan tidak sah.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki peran penting dalam proses identifikasi ini. Melalui Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP), PPATK dapat mengungkap aliran dana ke penerima manfaat dari transaksi keuangan yang diduga berasal dari hasil kejahatan.

Tantangan Hukum: Menjerat Pemilik Manfaat

Meskipun telah diidentifikasi, meminta pertanggungjawaban pidana dari pemilik manfaat dalam kasus pencucian uang masih menjadi tantangan besar. Beberapa kasus yang berhasil menjerat pemilik manfaat sebagai terdakwa dan terbukti dalam persidangan dapat menjadi pembelajaran berharga.

Salah satu contoh adalah kasus Muhammad Nazaruddin, di mana modus yang dilakukan adalah menunjuk pegawai kepercayaannya untuk menduduki jabatan sebagai direktur pada anak perusahaan miliknya. Nama Nazaruddin sendiri tidak ada dalam struktur organisasi, tetapi pengendalian perusahaan berada di tangannya.

Contoh lain adalah kasus Labora Sitorus, di mana ia memerintahkan karyawannya (nominee) untuk menjadi direktur di perusahaannya, namun seluruh operasional perusahaan tetap dikendalikan olehnya. Dalam struktur organisasi perusahaannya, nama Labora Sitorus tidak tercantum sebagai pengurus.

Untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana terhadap pemilik manfaat, perlu dilihat apakah ada perbuatan yang melanggar ketentuan pidana berdasarkan kebenaran materiil. Pemilik manfaat dapat dimintai pertanggungjawaban dalam beberapa skenario:

  1. Sebagai pengendali dan penganjur perbuatan pencucian uang: Dapat dikenakan Pasal 3 UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
  2. Sebagai penerima manfaat pasif: Dapat dikenakan Pasal 5 UU TPPU jika hanya menerima manfaat tanpa melakukan perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil kejahatan.

Baca juga: Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) Perusahaan: Definisi, Dampak Hukum, dan Proses Pelaporan

Langkah Ke Depan: Memperkuat Sistem Anti Pencucian Uang

Menghadapi kompleksitas identifikasi dan pertanggungjawaban pemilik manfaat, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memperkuat sistem anti pencucian uang di Indonesia:

  1. Peningkatan transparansi korporasi: Mendorong perusahaan untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan struktur kepemilikan dan pengendaliannya.
  2. Penguatan kerja sama antar-lembaga: Meningkatkan koordinasi antara PPATK, penegak hukum, dan regulator sektor keuangan dalam pertukaran informasi dan penanganan kasus.
  3. Pengembangan teknologi: Memanfaatkan teknologi big data dan kecerdasan buatan untuk mempercepat proses identifikasi pemilik manfaat dan penelusuran aliran dana.
  4. Edukasi publik: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko pencucian uang dan pentingnya transparansi beneficial ownership.
  5. Harmonisasi regulasi: Menyelaraskan peraturan terkait beneficial ownership di berbagai sektor untuk menghindari celah hukum.

Mengungkap tabir pemilik manfaat dalam kasus pencucian uang bukanlah perkara mudah. Diperlukan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan untuk terus memperbaiki sistem dan regulasi yang ada. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan Indonesia dapat lebih efektif dalam memberantas praktik pencucian uang dan menjerat para pemilik manfaat yang selama ini luput dari jerat hukum.

Upaya ini tidak hanya penting untuk penegakan hukum, tetapi juga untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat dan transparan di Indonesia. Dengan demikian, kita dapat membangun perekonomian yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.

Managing Partner of Equality Lawfirm