Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Hak Konstitusional

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/8/2024) lalu memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Partai Gelora. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pilkada yang mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu tak berlaku. Dan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/non-partai.

Dari sudut pandang politik tentu putusan Mahkamah Konstitusi itu mempunyai dampak signifikan. Konkretnya, peta politik akan berubah karena bisa saja bertambah pasangan calon yang sementara ini baru terdapat 2 (dua) paslon Cagub-Cawagub yakni, Ridwan Kamil-Suswono Vs Dharma-Kun. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam hal ini kembali membuka peluang untuk mengusung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur untuk di Jakarta.

Namun, pada hari Rabu (21/08/24) dilansir bbc.com dalam artikel "DPR batal sahkan revisi UU Pilkada, Pilkada 2024 ikuti putusan MK soal pencalonan kepala daerah yang sempat dibegal” menyebutkan,  hanya berselang satu hari, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi, “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masih dalam sumber yang sama, keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam Pilkada 2024

Atas peristiwa tersebut terjadi penolakan oleh masyarakat terutama mahasiswa di berbagai wilayah. Demonstrasi yang dilakukan secara masif pada hari Kamis (22/08/24) oleh berbagai elemen masyarakat dengan fokus utama di Jakarta tidak dapat dibendung. Namun di sisi lain, pada hari itu juga Baleg DPR mengadakan rapat revisi UU Pilkada. Seperti dikonfirmasi beberapa media massa, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan rapat paripurna dengan agenda pengesahan tersebut pada pagi hari tadi tidak bisa diteruskan karena kurangnya jumlah peserta rapat atau tidak kuorum. Kemudian pada sore harinya, DPR akhirnya memutuskan untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada.

Membaca Putusan MK

Terlepas dari ada atau tidaknya pengaruh tekanan massa melalui aksi demonstrasi besar-besaran yang menyebabkan batalnya revisi RUU Pilkada, namun tindakan DPR untuk merevisi UU Pilkada setelah adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan upaya ‘Pembangkangan Konstitusi’.

Hal tersebut juga mengakibatkan banyak narasi negatif bermunculan agar Putusan MK tersebut tidak dipatuhi atau tidak perlu dijalankan.  Adapun beberapa narasi yang berkembang di masyarakat yaitu: Putusan MK Nomor: 60/PUU-XXII/2024  telah melampaui kewenangan MK itu sendiri, putusan MK  Nomor: 60/PUU-XXII/2024 diputus di luar tuntutan 2 (dua) partai pemohon dan yang terakhir, akibat putusan tersebut MK telah membuka konflik antar lembaga negara (antara MK dengan DPR).

Jika membaca putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 secara seksama, maka akan ditemui dalam pertimbangan hukum di antaranya menyebutkan:

  1. menurut Mahkamah kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25%. Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU a quo maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup.
  2. …oleh karena keberadaan Pasal a quo (pasal 40 ayat (3)) merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
  3. Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yakni terhadap Pasal 40 ayat (1) bahwa pasal tersebut inkonstitusional secara bersyarat. sedangkan norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 dinyatakan inkonstitusional, namun oleh karena hal demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Pertimbangan hukum oleh Mahkamah Konstitusi di atas jelas menunjukkan bahwa Pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh pemohon a quo yakni Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tidak berdiri sendiri. Perlu dikaji juga tarikan nafas awal dari pasal tersebut yakni Pasal 40 ayat (1) sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon. Sedangkan Pasal 40 ayat (3) justru memberikan ketentuan tambahan yaitu akumulasi perolehan suara sah tersebut hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Hal tersebut jelas membatasi pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu meskipun tidak memiliki kursi di DPRD, sehingga mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya terutama bagi masyarakat umum yaitu, Kenapa Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang berbeda dari yang dimohonkan? Maka hal tersebut sesuai dengan fungsi MK, salah satunya yakni sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights).

Menurut Manahan MP Sitompul dalam artikel berjudul “Interpretasi Konstitusi dalam Putusan MK” (10/3/2023) menyebutkan, tugas Mahakamah bukanlah berhenti pada upaya merekonstruksi fakta-fakta perumusan suatu norma hukum melainkan pada upaya menemukan tujuan atau maksud yang ada di balik rumusan norma hukum sehingga ia senantiasa menjadi norma yang hidup (living norm) karena ia lebih terikat ke masa depan yaitu pada tujuan yang hendak dicapai.

Putusan MK adalah bersifat final dan mengikat (final and binding), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Terkait putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 di dalam pertimbangan hukum menyebutkan bahwa: Praktik selama ini apabila ada Putusan MK yang berdampak pada PKPU, maka PKPU harus diubah/direvisi, sedangkan proses revisi PKPU harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta diharmonisasikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan arti lain, Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum.

Pengajar dan peneliti hukum.