Cekhukum.com - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyampaikan masukan terhadap draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Masukan itu diberikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang diadakan Komisi III DPR RI Senin, (14/112022) lalu.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Antoni Putra, menyayangkan respons Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, pada pertemuan itu. Bambang mengatakan DPR sebagai wakil rakyat tidak memiliki kewajiban dan tidak memiliki waktu untuk memberikan jawaban atas masukan yang diberikan Aliansi.
Selain itu Bambang mengatakan, RDPU dengan Aliansi merupakan bentuk kemurahan hati DPR. Maka, DPR berhak menerima atau tidak masukan, dan bergantung pada kehendak partai-partai politik.
"Hal ini menunjukkan miskinnya perspektif mengenai partisipasi bermakna. Publik patut menyayangkan respons Komisi III DPR yang mencerminkan minimnya pemahaman akan partisipasi bermakna dalam proses legislasi," kata Antoni dalam keterangan tertulisnya kepada Cekhukum.com.
Menurut Antoni, pernyataan ketua Komis III DPR RI sangat fatal. Setidaknya ada dua kesalahan fatal dari ketua Komisi III DPR yang mencederai demokrasi.
Pertama, masukan masyarakat, termasuk dari Aliansi, bukanlah buah dari kebaikan hati DPR, melainkan bentuk partisipasi publik yang dijamin dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 (UU PPP).
Dalam hal ini, menurut Antoni, kewajiban DPR tidak hanya mendengarkan masukan yang diberikan, tapi juga mempertimbangkan dan memberikan penjelasan atau jawaban atas masukan tersebut.
"Hal itu merupakan kewajiban DPR sebagai bentuk pemenuhan prinsip partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020." katanya.
Menurutnya, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua adalah hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
"Bertolak dari tiga prasyarat tersebut, terdapat prinsip yang diingkari oleh DPR, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya. Jika dua prinsip lainnya tidak dijalankan, maka partisipasi publik dalam pembahasan RKUHP merupakan partisipasi publik yang cacat dan tidak dapat dijadikan alasan bahwa partisipasi publik telah terpenuhi." kata Antoni.
Kesalahan fatal kedua, DPR menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan partai politik karena menganggap bahwa masukan dari Aliansi hanya akan dipertimbangkan apabila partai politik menghendaki.
Dalam konteks ini, menurut Antoni, DPR lupa bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat, sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bukan berdasarkan atas kedaulatan partai politik.
"Pernyataan Ketua Komisi III DPR yang mempertanyakan apakah anggota Aliansi ikut memilih dalam pemilu atau tidak menunjukkan absennya pemahaman dan keberpihakan DPR mengenai makna partisipasi politik yang seolah berhenti di bilik suara pemilu," ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Antoni Putra meminta DPR menghormati hak setiap orang untuk berpartisipasi menyampaikan pendapat dan aspirasinya tanpa terkecuali dan menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai prinsip utama dan panduan dalam pembentukan undang-undang.
Ia juga juga meminta DPR dan Presiden memberikan penjelasan dan argumentasi secara formal atas masukan/aspirasi masyarakat, baik masukan yang diterima atau tidak diterima.