Freedom Information of Network Indonesia (FOINI), koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu yang fokus pada advokasi keterbukaan informasi di Indonesia menilai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak wajar dan diskriminatif.
Menurut koalisi tes itu telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Untuk itu FOINI meminta adanya keterbukaan informasi mengenai soal-soal tes tertulis dan panduan wawancara TWK KPK.
Atas dasar hak publik untuk mendapatkan informasi yang otentik (asli/benar) dan akurat, FOINI telah menyampaikan surat permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), agar kedua instansi negara tersebut membuka ke publik dokumen-dokumen soal-soal tertulis Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK RI dan panduan wawancara, termasuk daftar pertanyaan wawancara pada proses Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK RI.
Surat kepada PPID KPK dengan nomor 001/FOINI/V/2021 FOINI ajukan dan diterima oleh PPID KPK pada 27 Mei 2021 dengan nomor registrasi /56/.../200/.
Kemudian pada 11 Juni 2021, KPK memberi tanggapan melalui surat bernomor B-3566/HM.06.00/50-56/06/2021.
Melalui surat tersebut KPK menyampaikan informasi yang diminta FOINI tidak berada dalam kewenangan KPK dan seluruh kegiatan TWK dilakukan oleh lembaga pemerintah terkait.
FOINI sangat menyayangkan tanggapan KPK
Menurut FOINI, KPK tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai siapa lembaga pemerintah terkait yang dimaksud.
Padahal berdasarkan Pasal 22 ayat (7) huruf b UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), dalam hal informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaan badan publik yang menjadi termohon informasi atau dalam hal ini yaitu KPK, maka KPK wajib memberitahukan kepada pemohon informasi mengenai badan publik yang menguasai informasi tersebut.
Pemberitahuan itu wajib dilakukan apabila badan publik mengetahui keberadaan informasi yang diminta pemohon informasi.
Selanjutnya menurut FOINI hawaban KPK yang menyebut bahwa informasi yang FOINI mohon tidak berada pada penguasaan KPK merupakan jawaban yang tidak berdasar pada hukum dan peraturan perundang-undangan.
FOINI menilai bahwa dokumen yang FOINI minta berada dalam kewenangan atau penguasaan KPK. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) PP No. 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (PP Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN), disebutkan bahwa tata cara pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPK.
Selanjutnya pada pasal 5 ayat (4) Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara (Perkom KPK tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN), diatur bahwa selain menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk memenuhi syarat ayat (2) huruf b dilaksanakan asesmen TWK oleh KPK bekerja sama dengan BKN.
Atas dasar tersebut, FOINI memandang bahwa kewenangan proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN adalah kewenangan dari KPK dan oleh karenanya dokumen berkaitan dengan proses tersebut juga berada dalam penguasaan KPK.
Terhadap surat tanggapan KPK tersebut pada 16 Juni 2021 FOINI mengirimkan surat keberatan permohonan informasi kepada Atasan PPID KPK.
Sebagai lembaga antikorupsi yang penting mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, FOINI mendesak KPK dapat segera membuka ke publik dokumen-dokumen terkait dengan TWK, sehingga dapat meminimalisir kesimpangsiuran informasi mengenai TWK alih status pegawai KPK.
Pada 27 Mei 2021 saat yang bersamaan dengan pengiriman surat permohonan informasi kepada PPID KPK, FOINI juga mengirimkan surat permohonan informasi publik kepada PPID BKN. Pada 8 Juni 2021, BKN melalui surat bernomor 02/PPID/HHK/VI/2021 menyampaikan jawaban yang pada intinya memohon perpanjangan waktu untuk memberikan tanggapan permohonan informasi selama 7 (tujuh hari kerja) terhitung dari 9 Juni s.d. 17 Juni 2021.
Hingga melampaui tanggal 17 Juni 2021 yang BKN ajukan, FOINI belum menerima jawaban atas permohonan informasi sebagaimana dijanjikan oleh BKN.
Akan tetapi, pada 16 Juni 2021 justru beredar pernyataan Kepala BKN Bima Hariana Wibisana yang menyampaikan bahwa informasi mengenai TWK merupakan rahasia negara, sebagaimana diberitakan sejumlah media nasional. FOINI mencurigai bahwa tidak diberikan dan dibukanya informasi terkait TWK kepada publik disebabkan karena
informasi tersebut dinilai oleh BKN sebagai rahasia negara. Pun demikian, pengecualian soal-soal TWK, panduan wawancara, dan dokumen-dokumen terkait TWK harus dilakukan berdasarkan uji konsekuensi yang dilakukan sesuai dengan UU KIP.
Pengecualian informasi seharusnya tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh sebuah badan publik. Pasal 2 ayat (4) jo. Pasal 17 UU KIP mengaturbahwa informasi publik yang dikecualikan didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat.
Atas dasar tersebut, BKN harus menunjukkan hasil atau putusan Komisi Informasi mengenai dikecualikannya informasi terkait TWK sebagai informasi publik. Karena tidak adan kelanjutan tanggapan dari PPID BKN hingga melampaui batas waktu yang diperjanjikan, FOINI akan segera mengirimkan surat keberatan permohonan informasi kepada BKN pada 21 Juni 2021.
Sehubungan dengan tidak dibukanya informasi terkait TWK kepada publik, FOINI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. KPK RI dan BKN RI telah mencederai prinsip-prinsip transparansi yang telah termuat dalam UU KIP, padahal sebagai badan publik, kedua lembaga tersebut seharusnya wajib taat terhadap ketentuan hukum mengenai keterbukaan informasi publik;
2. KPK RI dan BKN RI untuk segera memberikan informasi kepada FOINI dan membukanya kepada publik, yaitu soal tertulis dan panduan wawancara TWK agar polemik yang timbul di masyarakat atas pertanyaan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi ASN lebih menemukan titik terang dan terhindar dari prasangka buruk;
3. Surat KPK RI No. B-3566/HM.06.00/50-56/06/2021 perihal Jawaban Surat FOINI tertanggal 11 Juni 20201 yang pada intinya menyampaikan bahwa informasi yang FOINI minta tidak berada dalam kewenangan KPK jelas merupakan jawaban yang tidak berdasar pada hukum dan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada ketentuan PP Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dan Perkom KPK tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN, diatur bahwa asesmen TWK dilaksanakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN. Dengan demikian, jawaban KPK yang menyatakan bahwa tidak menguasai informasi yang diminta oleh FOINI adalah jelas mengada-ada dan bentuk kebohongan publik.
4. Tindakan KPK RI selaku penyelenggara yang menutup informasi menyangkut asesmen TWK jelas bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir diubah melalui UU No.19 Tahun 2019 (UU KPK) yang menyatakan “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; e. proporsionalitas; dan f. penghormatan terhadap hak asasi manusia.”
5. Presiden RI Joko Widodo harus menegur Kepala BKN dan KPK yang telah melanggar asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu yang meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
6. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas ucapannya kepada publik yang banyak dikutip media mengenai informasi terkait TWK sebagai informasi rahasia, Kepala BKN perlu segera menunjukkan kepada publik hasil uji konsekuensi mengenai dikecualikannya informasi tentang TWK dari informasi publik. Jika tidak, patut dicurigai bahwa BKN mengkategorikan informasi tersebut sebagai rahasia negara yang dikecualikan dari informasi publik secara sepihak atau tanpa uji konsekuensi, dan dengan demikian, mengangkangi pasal 2 ayat (4) dan 17 UU KIP. [Relis]