Kampus Harus Membenahi Penyajian Informasi dan Data

Kampus itu tempat para orang cerdas. Asumsi awam publik, semua produknya adalah cerdas. Apapun itu, walau ada yang tampak tidak cerdas, tapi kira-kira, publik akan mengatakan "ya, seperti itulah tingkat kecerdasannya". Intinya publik tidak mau tahu apapun alasan orang cerdas, bila tidak tampil dengan cerdas, maka publik akan langsung menghakimi "segitulah kecerdasannya". Maka perspektif umum kecerdasan itu buyar seketika.

Ini hanya sekedar pendapat dari hasil ngecap dengan banyak orang akhir-akhir ini. Ada kesedihan melihat kampus yang tidak mampu menyajikan informasi dan data pikiran-pikiran cerdasnya secara cerdas.

Kita tahu, kampus itu memiliki banyak sekali penelitian. Tentu publik berharap hasilnya bisa dinikmati menjadi bacaan yang enak dibaca. Syukur bisa mengakselerasi daya pikir dan kreativitas masyarakat. Tapi paling tidak, hasilnya bisa menjadi difrensiasi terhadap ide-ide. Difrensiasi ide itu perlu untuk mendukung demokratisasi ide, sehingga bisa mendongkrak kreativitas publik untuk berkarya.

Masalahnya, dari observasi sederhana, ternyata kampus tidak mampu menyajikan secara cerdas segudang karya penelitinya untuk bisa diakses dan dibaca oleh publik. Masa kekinian, tentu platform digital adalah tumpuan untuk bisa mendapatkan informasi secara mudah. Tapi sayangnya kampus belum siap.

Coba deh, buka website-website kampus, pasti pusing delapan keliling kalau mau mencari letak laporan-laporan hasil penelitian itu.

Harusnya itu diletakkan di bagian depan website. Tidak perlu disimpan jauh-jauh. Apalagi diprivatkan atau dengan menutup akses. Atau bahkan dengan dalih "kalau mau, silakan minta ke kampus, akan diberikan hard filenya". Tentu itu tidak cerdas.

Atau dengan alasan, hasil penelitian itu sudah terbit di jurnal-jurnal ilmiah, seperti scopus, dll. Maka tidak perlu lagi dipublikasi secara apik untuk masyarakat lokal kampus. Itu juga tidak cerdas.

Kita kasihan, karya-karya pikir para peneliti kita yang cerdas itu hanya masuk keranjang sampah sebelum sempat dibaca orang banyak. Bagaimana bisa diuji, diperdebatkan, dan menjadi tools kreativitas publik, jika akses untuk membacanya saja susah?

Toh ujung-ujungnya timbul pesimistis, apa gunanya duit negara dikeluarkan untuk para orang cerdas itu, kalau tidak mampu berkontribusi untuk perkembangan pengetahuan publik. Toh, maksudnya, penelitian itu bukan hanya untuk perkembangan pengetahuan orang-orang kampus saja, bukan?

Mengutip data Universitas Andalas, tahun 2020 saja, kampus menggelontorkan duit 9.2 Miliar untuk peneliti.

Pertanyaannya, seperti apa rupa karya dari duit 9.2 miliar itu? Bagaimana kita bisa membacanya? Apa idenya? Bisa diterapkan gak hasil penelitian itu?

Kampus harus membenahi penyajian informasi dan data.

Nah, gimana? Coba deh jawab. Semoga ada perubahan.